Kebencian Vs Cinta Kasih
by: ponijan (Dimuat di Harian ANALISA MEDAN, Senin, 27 April 2010)
Kebencian tidak akan pernah berakhir jika dibalas dengan kebencian. Ia hanya akan berakhir jika diselesaikan dengan cinta kasih.
Lupakanlah orang yang pernah menyakiti Anda, dengan itu, Anda bisa mengosongkan energi negatif itu dari ruang hati sehingga ia bisa diisi dengan hal-hal positif dan konstruktif.
(Status 27, Success & Joy Talks, DR. Ponijan Liaw)
Dunia ini terlalu sempit bagi orang yang memiliki banyak musuh. Karena ke sudut mana pun ia pergi, ia akan terus bertemu dengan orang yang tidak disukai.
Jika situasi dan kondisinya seperti itu, kemanakah gerangan ia harus berdiri?
Tidak ada satu tempat pun di kaki bumi mau pun di langit yang bisa menyewakan tempat aman, bebas dari orang-orang yang dibenci.
Sebagai seorang yang berpikiran positif, ada baiknya semua pihak merenungkan makna hakikat kehidupan dan eksistensinya di bumi ini.
Terlebih lagi jika Anda seorang entrepreneur yang sejatinya harus membina relasi dengan banyak pihak agar ekspansi dan eskalasi usaha dan korporasi Anda bisa meningkat berdasarkan deret ukur.
Semua pihak harus dirangkul. Tanpa itu, mustahil kesuksesan yang sesungguhnya akan dapat diraih.
Kerugian ‘Memelihara’ Kebencian
Jika ada pihak yang pernah melukai Anda, ingatlah bahwa mungkin ia tidak sengaja melakukannya.
Mengapa Anda membawa beban itu kemana pun Anda pergi? Apakah hal itu akan dibawa sampai mati?
Bukankah energi yang terkuras untuk itu berakhir sia-sia tanpa laba?
Sesungguhnya, terdapat sederet panjang kerugian yang menghampiri seseorang yang menyimpan dan memelihara kebencian itu. Ruang afeksi yang seyogyanya berisi karakter positif, konstruktif, simpatik dan empatik terpaksa tidak berdaya menerima desakan dahsyat dari energi negatif-destruktif (baca: kebencian) yang terus menerus membombardirnya setiap hari.
Hati menjadi pasif dan antipati. Sensitivitas hati berangsur lenyap secara berkala. Humanitas terhadap sesama menguap.
Jika sudah demikian, peran hati yang sejatinya penuh kasih untuk berbagi tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Hati menjadi mati, walau pun pemilik fisiknya masih hidup. Akumulasi dari terabrasinya hati ini lambat laun akan membuat sang pemiliknya menjadi manusia yang apatis, negatif, pasif, abusif, agresif dan sensitif.
Senin, 10 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar